Wanggie Hoed

Hiteen.id – Sebagian masyarakat atau orang menilai pantomim sebagai sarana komunikasi non-verbal, mimetik, dan nonkonvensional, yang dijalankan terutama dalam saluran visual dengan gerakan terkoordinasi dari seluruh tubuh sebagai vokalisasi non-linguistik. Pantomim adalah tindakan komunikasi improvisasi yang secara menyeluruh mengacu pada repertoar peristiwa yang tak terbatas.

Pantomim juga memerankan cerita tanpa menggunakan suara. Terkadang cerita mereka lucu, terkadang sangat serius. Tampilan seorang pantomim memiliki ciri khas memakai celana ketat hitam dan riasan wajah putih, tetapi pantomim kontemporer terkadang tidak memakai riasan, dan kadang tidak hanya diam, tapi membuat suara-suara kecil.

Namun, seperti banyak asumsi yang dipegang oleh sebagian masyarakat, ini pada dasarnya salah. Pantomim memang memiliki suara, mereka bisa menyanyi, berbicara, dan bahkan berteriak, meskipun dengan nada yang tidak terdengar oleh manusia.

Wanggi Hoed adalah salah satu pantomim tersebut. Ia merupakan seniman pantomime Indonesia kelahiran Palimanan, Cirebon 24 Mei 1988. Ia mulai berkarya dan berproses kreatif di dunia seni pertunjukan sejak tahun 2004.

Wanggi Hoed merupakan alumnus STSI Bandung tahun 2012, dengan mengambil jurusan teater angkatan 2006. Kini, sudah kurang lebih 17 tahun ia berkarya hingga memiliki karya yang hadir di berbagai ruang publik dan ruang budaya. Dirinya pun pernah berpartisipasi menjadi aktor dan Divisi Propaganda di Teater Cassanova.

Selain itu, ia juga merintis ruang belajar komunal kreatif independen seperti; Mixi Imajimimetheatre Indonesia dan Nyusur History Indonesia – ruang seni perjalanan kolaborasi seni, sejarah dan budaya, Aksi Kamisan Bandung (Gerakan Menolak Lupa dan Impunitas), Gerakan Kebudayaan Awak Inisiatif Arts Movement.

Ia juga menginisiasi acara “Perayaan Hari Tubuh Internasional”, Indonesia Street Mime International Festival 2017 (Palangka Raya, Kalimantan Tengah), Mixi Mime Festival (Festival Pantomim pertama di Bandung), dan inisiator Tur Mime Tipis Tipis Indonesia (perjalanan tur pantomim mandiri) sejak 2009 silam.

Di tahun 2021 ini Wanggi Hoed mendirikan Pusat Studi Mime Wanggi Hoed yang berfokus pada penciptaan karya, pengkajian serta penelitian dalam mendistribusikan sumber pengetahuan seni pantomim serta pengabdian di masyarakat terhadap isu terkini seperti isu sosial, budaya, lingkungan dan lain-lain dari berbagai lintas keilmuan guna melahirkan pemikiran-pemikiran yang inovatif dan inklusif.

Ia juga turut berpartisipasi, berkolaborasi, dan membuat lokakarya bersama beragam seniman, musisi, komunitas serta masyarakat lintas disiplin baik dalam dan luar negeri. Salah satunya Pentas Pantomime 12 Jam Non-Stop di Bandung International Dance Film Festival dan Pantomime 6 Jam Non-Stop di Situs Sel No.5 Eks Penjara Bung Karno.

Yang menarik, Ia pun seniman pantomim yang pertama kali melakukan pertunjukan pantomim di atas Puncak Mahameru, Gunung Semeru Jawa Timur. Kepada Hiteenid, ia menuturkan bahwa pertunjukkan di Gunung Semeru pada akhirnya membuat dirinya memahami kembali arti tentang kemanusiaan.

Ia memahami bahwa sebagai manusia semua akan berada pada puncak. Puncak tersebut itu juga bukan sebagai ambisi yang kita inginkan, tetapi kondisi di mana kita akan kembali pada titik terendah sebagai manusia yaitu kembali pada apa yang kita lakukan sehari-hari.

Banyak yang berkesan bagi Wanggi Hoed sebagai performer, termasuk dengan pantomim ia dapat kembali pada akarnya, yaitu merespon jalanan dan melakukan pendekatan kepada masyarakat sekitar. Pada akhirnya bukan hanya edukasi yang dapat dihasilkan, tetapi masyarakat dapat mengetahui bagaimana mime itu sebenarnya.

Karena banyak masyarakat hanya tahu pantomim di televisi atau Youtube, sebagai hiburan bahkan hanya untuk dokumentasi saja. Nyatanya, pantomim juga bisa hadir di ruang-ruang lain bahkan ruang-ruang intim dan ruang kecil sekalipun.

Melakukan pentas di negeri sendiri sudah bagaikan aktivitas sehari-hari baginya. Wanggi Hoed pun telah melalang buana ke berbagai pentas mancanegara. Ia pun tergabung dalam World Mime Organisation (Organisasi Pantomime Dunia). Sebagai inisiator pertama dari Indonesia dalam peringatan tahunan World Mime Day atau Hari Pantomim Sedunia sejak tahun 2011, juga anggota dari Silence Community dan Pantomime-Mime.

Berbagai prestasi telah ia torehkan di bidang seni khususnya pantomim ini. Pada tahun 2013, ia pun pernah berkolaborasi dengan Syafiq Effendi Faliq, aktor pantomim “The Qum Actor” dari Malaysia. Tahun 2013 juga berkolaborasi bersama Kelompok Sirkus Teater Kontemporer (Contemporary Circus Theater) Chabatz De’Entrar Compagnie dari Perancis dan melakukan Tour Sirkus Teater di sembilan kota di Indonesia, Timor Leste dan Vietnam (Hanoi – Ho Chi Minh).

Pada tahun 2018 diundang sebagai penampil seni dan pembicara di Ubud Writer and Reader Festival 2018 (UWRF) dalam Main Program “Art For Impact”. Projek kolaborasi video sunyi bersama Visual Banal (isu kesehatan mental). Projek kolaborasi video kampanye “Spesies Liar” untuk mengonter konten perburuan, perdagangan dan intervensi serta ekploitasi satwa liar dan habitatnya, serta menginisiasi Tur Liar 2021 untuk menyebarkan lebih luas karya video ini.

Mime, bagi Wanggi adalah pekerjaan sikap. Pantomim adalah harta karun seni pertunjukan dunia. Pantomim baginya sebuah media untuk menyampaikan pesan melalui kinerja kreatif dari bahasa tubuh dan imajinasi terhadap pernyataan dari kenyataan. Konsep berkaryanya di dunia seni pantomim, yang menghadirkan kesunyian yang meruang, memanipulasi bunyi-visual baik imaji dan gerak tubuh pada tempo tertentu serta terapi masyarakat.

Membawa cerita dari keberagaman dan kekayaan budaya leluhur nusantara. Dalam melakukan performanya, ia menggunakan ikat kepala dan pakaian budaya—pakaian baduy sebagai identitas otentik yang selalu dipakai Wanggi dalam setiap pertunjukan. Hal ini ia lakukan guna merawat entitas nusantara dan memperkenalkan nilai-nilai luhur budaya.

Karya-karyanya menjadi jembatan ingatan perihal berbagai isu terkait sosial-budaya, kemanusiaan, solidaritas, urban, lingkungan, sejarah, krisis, nir-kekerasan, perdamaian dan kesemestaan (spiritualitas) dengan disiplin tubuh yang meditatif dan interaktif serta kontemplatif.

Bagi Wanggi Hoed, pantomim itu seni bahasa tubuh yang sunyi dengan bahasa universal. Ada sebuah pesan yang tersembunyi dari tiap gerak dan imajinasi dalam kecepatan dan tempo tertentu, bukan sekedar lucu-lucuan. Pantomim itu bahasa perdamaian, bahasa untuk semua manusia yang hidup di bumi ini.

Adapun yang ingin Wanggi sampaikan adalah kita kembali lagi kepada ruang kita, peranan kita sebagai manusia. “Bagaimana pesan-pesan dari karya pantomim yang saya bawakan bertanggung jawab untuk kedepannya. Dalam kehidupan menjadi tindakan yang diterapkan,” katanya.

Pantomim menjadi jembatan ingatan untuknya sendiri dan juga sebagai alat komunikasi non-verbal yang baik. Dengan kondisi sekarang ini adanya ruang-ruang digital yang secara fisik tak dapat mempertemukan antara individu dengan individu lainnya dapat menjadi perantara untuk berkomunikasi.

Kepada generasi penerus bangsa pun ia berpesan bahwa kita harus bisa bermimpi dan bukan hanya bermimpi tetapi juga harus bisa mewujudkannya – mewujudkan apa yang diinginkan hari ini. Kita juga harus dapat berpikir kritis, berani untuk berekspresi, dan bersuara tentang kondisi sekitar. Sebagai generasi muda sudah sepatutnya kita merawat kreativitas sebagai mewujudkan mimpi.

“Berani berkarya, gak usah mikir karya kita siapa yang mengapresiasi, karya kita kedepannya akan bagaimana sih? Ya berani berkarya aja dengan media seni masing-masing,” pesan Wanggi Hoed kepada generasi muda Indonesia.

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may also like